Rabu, 22 Mei 2013

Skenario-Mu
“Assalamu’alaikum bang, nanti Lily pulang malem, dijemput ya?” kataku kepada kakak yang sering aku panggil “abang” itu.
            “Wa’alaikumsalam, pulang jam berapa dik?” jawab Rehan “si abang” via telepon.
            “Sekitar ba’da Isya aku selesai. Jemput jam tujuh ya?”
            “Acara apa dik?” Tanyanya memastikan.
            “Ada tugas tambahan, besok ada acara kegiatan Bakti Sosial, aku ikut di kepanitiaannya bang”
            “Hm.. Oke deh, Insya Allah abang jemput. Jam tujuh ya?”
            “Okey abang sayang, Lily pamit dulu, Assalamu’alaikum,tut... tut... tut...” . Segera ku tutup telpon tanpa menuggu balasan salam dari abang ku. Inilah kebiasaanku, menutup telpon sebelum mendengar balasan salam dari seberang sana. Astoghfirullohhal’adzim... maafkan aku duhai Engkau Sang Maha Pengampun.
            Malam ini selesai, persiapan acara untuk besok sudah lengkap dan fix. Kini aku, Yani, dan beberapa temanku bersiap pulang. Aku dan Yani keluar ruang persiapan setelah beberapa orang keluar mendahului. Diluar, Om Darma terlihat sudah menunggu di tempat parkir dengan vespa kesayangannya. Aku mencari sosok bang Rehan di sekitar tempat parkir, tidak, belum ada. “Dimana dia?” Tanyaku dalam hati. Yani yang melihatku gelisah mencari bang Rehan, kini ikut mencari.
            “Bang Rehan belum datang Ly?” tanya Yani akhirnya.
            “Belum ini, aku sudah bilang dijemput jam tujuh, seharusnya sudah disini dari tadi”
            “Coba kamu hubungi dulu Ly, kali aja dia lupa”
            “Masa si dia lupa?” jawabku sembari mengeluarkan Handphone berniat menelfon kakakku.
            “tut...tut... tut...” berulang kali ku telfon abangku tapi tidak di angkat. Ini membuatku cemas.
            “Tenang dulu Ly, mungkin lagi dijalan” ujar Yani menenangkan.
            “Kayaknya iya deh...” jawabku dengan membuat fikiran yang positif.
            “Aku tungguin kamu sampai bang Rehan kesini ya?” ujar Yani menawarkan diri.
            “Mm... nggak usah Yan, paling bentar lagi juga sampai. Kasihan Om Darma, udah nunggu lama tuh, pulang dulu aja, aku nggak papa kok, lagian disini masih ada beberapa orang”
            “Beneran ni nggak papa?” tanya Yani meyakinkan.
            “Beneran... Serius aku nggak papa” jawabku dengan senyum lebar.
            “Okay deh kalau gitu aku pulang dulu. Hati-hati Cantik! Kalau ada apa-apa hubungi aku yaa...” pamit Yani diakhiri dengan mencium pipi kanan dan kiriku.
            “Sipp... Hati-hati di jalan”
            “Kamu yang hati-hati, masuk dulu sana, suruh abang kamu hubungin kalau sudah sampai”
            “Iya nenek cerewet, sudah sana pulang”
            “Hehe... Iya deh, duluan ya? Assalamu’alaikum...”
            “Wa’alaikumsalam Warohmatulloh...” jawabku sembari melambaikan tangan dan berjalan kembali melewati jalan yang telah ku lalui beberapa menit yang lalu. Ku hentikan langkahku di depan ruang persiapan yang terlihat masih berisi tiga orang, kak Agung ketua kegiatan ini, kak Reni dan kak Yuni dua sekertaris kegiatan yang selalu bersama, mereka terlihat masih sibuk dalam ruang persiapan. Ku urungkan niatku untuk masuk lagi ke dalam, aku memilih untuk duduk di kursi yang tersedia di depan ruang.  Kulirik jam menunjukkan pukul 20:05.  Ku coba menenangkan diri dengan membuka Al-Qur’an kecil yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. Melantunkan ayat-ayat suci-Nya dengan lirih. Dua surat selesai ku baca, sedikit lebih tenang hati ini. kembali kulirik jam yang menempel di pergelangan tangan kiriku, pukul 20:25, duapuluh menit berlalu, bang Rehan belum juga menampakkan batang hidungnya, seharusnya 15 menit sudah cukup untuk perjalanan dari rumah menuju kampus tempat dimana kini aku berada.
            Ku masukkan Al-Qur’anku ke dalam tas, dan kucoba menelpon bang Raihan lagi, tetap tidak ada jawaban, bahkan kali ini handphonnya tidak aktiff!
“Astoghfirullohhal’adzim... ada apa dengan dia?” tanya hatiku yang kembali bergetar cemas. Ayah dan Ibuku tidak dirumah, tidak mungkin aku meminta tolong mereka. Tiba-tiba aku teringat Yani, ku ambil handphoneku dan mencari namanya di dalam kontak handphone, beberapa saat sebelum aku menekan tombol “Call” aku teringat akan satu hal, rumah Yani jauh dari kampus, setengah jam untuk perjalanan. Mungkin dia baru sampai di rumah saat ini. Tidak mungkin aku meminta tolong padanya untuk menjemputku kini. Ku putuskan untuk menunggu abangku 5menit lagi dengan berjalan ke luar kampus. Sekilas ku lirik lewat jendela yang terjejer di dinding ruangan, tiga orang yang terlihat masih sibuk di dalam ruang persiapan. Kak Angga melihatku, mungkin dia heran melihatku masih berada disini. Masa bodoh.
Kulangkahkan kakiku perlahan mengimbangi jam yang berputar lambat, hingga kini aku berada di teras depan kampus. Sepi. Tidak ku lihat abangku berada di sini. Bosan aku melihat jam, dengan langkah cepat kini kakiku melangkah menyusuri jalanan menuju tempat pemberhentian bus. Dalam langkahku tidak pernah terhenti bibirku mengucap nama-Nya. Tujuh menit berlalu, baru setengah perjalanan menuju jalan raya dimana biasanya ada bus lewat disana. “Bismillah, semoga masih ada bus lewat malam ini, berikan murahMu wahai Engkau yang maha mengasihi setiap umat, berikan sinarMu di malam yang gelap ini wahai Engkau yang maha Menerangi setiap langkah umatMu, berikanlah keselamatan duhai Engkau yang Maha Melindungi orang-orang yang Engkau kasihi, aamiin” bisikku dalam hati di sela perjalanaku.
Sudah terlihat olehku tempat yang ku tuju di ujung sana, sekitar 200 meter lagi, beberapa kendaraan masih berlalu lalang melintas dalam penglihatan mataku, sesekali bus. Alhamdulillah, semoga masih ada bus lain yang lewat. Ku percepat langkahku menuju ujung jalan ini, setengah berlari mengejar waktu yang terus berputar lambat. Tidak ku hiraukan perasaanku yang tidak jelas, memikirkan bang Rehan yang tidak juga datang menjemputku. Tidak ku hiraukan orang-orang yang terus memperhatikanku dalam kegelapan, terus ku langkahkan kakiku dengan cepat dan semakin cepat menuju ujung jalan dengan tetap menyebut nama-Nya, sesekali melantunkan ayat-ayat suciNya. “Hampir sampai, ayo semangat Lily, semangat...” bisikku lirih.
Ditengah perjalanan, langkahku terhenti mendadak, disaat menyadarinya, aku merasa terlambat! Sesosok manusia bertubuh besar melangkah perlahan menuju arahku. “Ya Allah, harus bagaimana aku?” di tengah panik yang kurasakan, ku dengar dia memanggil manggil diriku dengan manja, terdengar sangat mengerikan di telingaku. Berdetak keras hatiku, seakan aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Tubuhku lemas, sedikit bergetar. Dengan kekuatan dan ketakutanku kini, aku berbalik dan berlari secepat yang aku bisa. Kudengar tawa keras yang keluar dari mulutnya. Sungguh menjijikkan. Setelah beberapa saat aku berlari, ku sempatkan untuk melihat ke belakang, kulihat dia tidak mengejarku, namun masih berjalan menuju kearahku. Aku berniat untuk kembali ke kampus dan menjauh sejauh jauhnya darinya. Semoga dia tidak mengejarku lagi.
Ku percepat lariku, dan sesekali ku lihat keadaan di belakangku, laki-laki bejat itu mulai berlari mengejarku, dengan tetap memanggil manggil ku. Ku percepat langkahku semakin cepat dan cepat, hingga akhirnya langkahku terhenti untuk kedua kalinya malam ini. Satu sosok tubuh besar lagi yang mengerikan dengan penuh tato di kulit hitamnya, kini melangkah perlahan ke arahku. Ku lihat kebelakang, sosok dibelakangku itu berhenti berlari, kini berjalan cepat menujuku.
“Astoghfirullohhal’adzim... Ya Allah, lindungilah hambaMu yang kerdil ini, selamatkanlah aku dari gangguan yang tidak ku inginkan ini ya Allah, berikanlah aku seseorang yang bisa menyelamatkan ku malam ini... bang Rehan... dimana kamu? Cepat datang dan tolonglah adikmu ini...” jeritku dalam hati dengan meneteskan air mata ketakutan. Aku menyesali keputusanku untuk pulang tanpa menunggu bang Rehan.
Mereka kini semakin mendekat ke arahku, kulihat keadaan sekeliling, sepi. Kanan kiri jalan berderet pertokoan yang telah tutup dan tidak berpenghuni, kuurungkan niatku untuk berteriak meminta tolong,  tiba-tiba teringat olehku handphone yang berada di tasku, ku buka tas dan mencari dengan gugup handphone yang terselip di antara kertas-kertas dan buku yang ada di tasku. “Dimana?” Disaat aku mencarinya, kudengar suara klakson berbunyi keras menghentikan langkah sosok-sosok mengerikan yang mencoba mendekatiku.
“Naik!” perintahnya kepadaku. Tanpa berpikir panjang aku meloncat naik ke atas sepeda motor yang melaju kencang setelah aku menaikinya, meninggalkan laki-laki yang sangat mengerikan bagi ku.Tanpa kusadari aku memeluknya dari belakang dengan menangis sesenggukan di punggungnya. Sampai akhirnya aku mendengar suaranya.
“Rumahnya di mana?”
“Astoghfirullohhal’adzim...” tersadar dari rasa takut, panik, dan sedih, kulepaskan pegangan tanganku yang memeluk erat pinggangnya. Berulangkali ku sebut asma Allah, menyadari apa yang telah ku lakukan dengan ketidaksadaran ini. Setelah sedikit merasa tenang kini aku mengamatinya dari belakang, Subhanallah... ini jaket yang tadi di pakai kak Angga. Merasa tenang sudah mengetahui orang yang telah menolongku, kini dengan lirih aku menjawab pertanyaannya yang telah lama berlalu.
“Di kompleks sebelah taman kota, blok n kak”
“Sudah enakan?” kak Angga menanyakan keadaanku.
“Alhamdulillah kak, makasih banyak” Jawabku singkat. Kak Angga tidak menimpali perkataanku.
Dalam perjalanan kami berdua terdiam dan masuk dalam pikiran masing-masing. Baru pernah aku membonceng cowok selain bang Rehan dan Ayah, “Astoghfirullohhal’adzim... maafkan hambaMu ya Rabb, singkirkanlah syaitan-syaitan yang kini berada di antara kami” bisikku kembali mengeluarkan air mata hingga terdengar bunyi sesenggukan yang beberapa saat tadi telah terhenti.
Akhirnya laju sepeda berhenti tepat di depan rumahku, segera aku turun dan mengucapkan terimakasih padanya.
“Makasih banyak kak” kataku lirih menundukkan pandangan ku.
“Lain kali hati-hati, kalau bisa jangan pulang sendirian” nasehatnya.
“InsyaAllah kak, makasih buat nasehat dan pertolongannya, maaf sudah malam, saya harus masuk sekarang, Assalamu’alaikum...” pamitku dengan segera berjalan menuju rumah. Bukan balasan salam yang ku dengar, namun terdengar olehku ia memanggil namaku.
“Dik Lily...?
Langkahku terhenti, diam mendengarkan apa yang akan ia katakan padaku, tanpa membalikkan badanku yang terasa sangat lemas setelah turun dari sepeda beberapa menit yang lalu.
“Saya menemukan ini di atas kursi depan ruang persiapan, sepertinya ini punya adik?” akupun berbalik dan melihat apa yang kini ia pegang.
“Subhanallah... handphone saya kak” aku mendekat dan mencoba untuk mengulurkan tangan dengan tetap menundukkan kepalaku, kurasakan tanganku bergetar hebat, kakiku lemas seolah tak mampu menahan berat tubuhku, mukaku memanas, kepalaku pusing, kuurungkan niatku untuk mengambil handphoneku, aku berbalik dan melangkah cepat sedikit tertatih menuju pintu rumah, berharap bang Rehan di rumah dan segera membukakan pintu untukku sebelum tubuhku terjatuh menahan rasa berat yang kini semakin bertambah. Tak ku pikirkan kak Angga di belakangku, tujuanku cuma satu, rumah.
Entah apa yang terjadi, ku rasakan seseorang berlari ke arahku, ingin aku melihat siapa itu, tapi aku tidak mampu melihat lagi.
***
Tidak bisa ku ucapkan bagaimana perasaanku saat ini, tidak mampu ku ungkapkan lewat bahasaku, namun rasa ini sungguh jelas terasa dalam kesempurnaan yang Engkau berikan, inilah perasaan hatiku.
Disaat kupandangi seluruh tubuhku di depan cermin, Subhanallah... Inikah ciptaan-Mu yang begitu sempurna?? Makhluk yang kulihat kini, kesempurnaan yang terlihat, dengan balutan jilbab yang lembut, hingga nyaris menutupi jari-jari mungil ini. termenung aku, mengingat akan Maha Besar-Mu.
Perlahan hujan itu mulai turun, tetesan hujan dari pelupuk mata hasil cipta yang begitu sederhana, namun rumit penuh kesempurnaan, kini semakin deras ia menetes, mengalir dan memberikan kesejukan. Inilah tetesan air mata cinta yang mengalir tulus dari hati manusia kerdil.
Kuusap pipiku yang bermandikan air mata cinta, kusebut nama-Nya berulang-ulang, menata hatiku agar lebih tenang. Ku hembuskan nafas yang murah ini perlahan. dengan hembusan ini, kurasakan setiap nikmat yang telah Dia berikan. Subhanallah...betapa Ia Sang Maha Pemilik Kesempurnaan.
Hujan itu kembali menetes deras, tidak mampu aku bendung lagi. Lantunan-lantunan suci menambah deras setiap tetesan yang mengalir.
...
Hari ini sangat cerah, matahari bersinar terang, menggantung tepat diatas kepalaku, menemaniku berjalan menyusuri deretan-deretan rumah di pinggir jalan. Hari ini aku akan mengunjungi rumah Yani, kebetulan sepeda dirumah mogok, sementara bang Raihan sibuk dan tidak bisa mengantarkanku pergi. Setelah sampai di pinggir jalan raya, kulihat bus menuju kearahku, bus itupun terhenti setelah aku menyetopnya, kulangkahkan kakiku menginjak alas bus yang kini berada di hadapanku. Sambil tersenyum, kini aku merasa lega dan berucap syukur sembari duduk nyaman bersandar pada kursi bus, sungguh nikmat. Ku pandangi jalanan di luar sambil menikmati goncangan demi goncangan yang kurasakan pada bus ini. kembali aku tersenyum, memikirkan apa yang akan ku katakan pada Yani nanti. J
Empat tahun berlalu, kini aku pulang ke kampung halamanku setelah aku menyelesaikan studi S2 ku di Kairo Mesir, sebenarnya tiap akhir tahun aku pulang mengunjungi keluargaku di rumah, namun kepulangan ku kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Setelah aku mampu melewati masa-masa sulit dan senangku di negeri yang selalu aku impikan sejak dahulu, hingga kini aku bergelar master dengan lulusan tercepat di Universitas Kairo Mesir. Dua hari setelah kelulusanku, ayah menelfon menyuruhku pulang, dengan alasan ada yang akan meminangku. MasyaAllah, siapakah gerangan? Ketikaku tanyakan pada ayah, beliau hanya mengatakan kalau ikhwan yang akan meminangku adalah sosok yang sempurna menurut ayah, ibu, kak Rihan juga mbak Rina istrinya.
“Bismillah... siapapun itu, semoga yang terbaik untukku. Aamiin ya Robb..” do’a ku dalam hati kala itu.
Ketika sampai pada hari ta’arufanku dengannya, Subhanallah... Dialah yang menolongku di malam mengerikan yang baru pernah aku rasakan seumur hidupku. Empat tahun yang lalu, setelah hari kelulusannya dia menghilang, dialah orang yang pernah membuat hatiku bergetar diisaat aku melihatnya, walau dalam jarak yang jauh. Dia jugalah yang membuatku menangis semalaman memikirkan apa yang harus kulakukan untuk melupakannya, melupakan dirinya yang telah membuatku gila dengan cinta yang melebihi cintaku terhadapNya. Sekarang setelah empat tahun berlalu Engkau takdirkan dia kembali pada ku, dengan jalinan yang lebih sempurna dalam sebuah ikatan yang bernama “pernikahan”
Bis berhenti mendadak, aku tersadar dari lamunanku dan menyadari ternyata bis ini telah mengantarkanku tepat di depan rumah Yani yang ada di pinggir jalan raya. Akupun turun dan kembali tersenyum lebar mengingat apa yang akan aku katakan pada Yani untuk memberitahu padanya tentang pernikahanku yang tak lama lagi. J

Sabtu, 09 Maret 2013

Singgasanaku


“Tolong antarkan aku...”
“Kemana?”
“Singgasana Terindah”
“Aku tak bisa lakukan itu”
“Kamu pasti bisa! Aku yakin itu...”
“Tidak, aku tak bisa antarkanmu kesana, tidak mungkin”
“Kalau begitu, jadilah petunjuk jalan bagiku...”
“Apa bedanya dengan mengantarkanmu...?”
...
“Ada banyak jalan menuju apa yang kau mau
Semua jalan ini sangat memukau
Menarik banyak orang untuk melewatinya
Jika kau mau, cobalah...
Kenalilah jalan ini
Ikuti petunjuk jalannya
Tapi ingat...
Berhati-hatilah dalam melangkah
Karena setiap langkahmu adalah penentu hidupmu
Apa yang ada di depan sana...
Belum tentu yang terbaik untukmu
Cermati apa yang kamu pilih
Karna hanya satu pesanku, sebagai petunjuk jalan bagimu
Jalan yang akan kau hadapi nanti
Mungkin...
Tidak semudah yang sedang kau jalani sekarang
Atau mungkin sebaliknya
Karena disini semuanya membutuhkan kesabaran
Keikhlasan
Kegigihan yang sungguh-sungguh
Ingatlah...
Jika telah sampai langkahmu
Kau akan melihat...
Satu titik cahaya terang keemasan yang bersinar lembut
Menyinari jalan di depanmu
Mendekatlah, dan teruslah mendekat...
Sampai akhirnya kau dapat raih cahaya itu
Carilah...
Dan temukan kuncinya...
Bukalah sesuatu yang terkunci itu...
Dan masuklah
Disanalah...
Singgasana yang kau harapkan”
“Singgasana Keimananmu”

Jumat, 01 Maret 2013

kau kah itu?



Kaukah itu?
Seorang gadis kecil yang kurus, hitam, dekil dan jelek?
Kaukah kini?
Bidadari cantik hitam manis, rapi, dan anggun, dengan segala keramahan di wajahmu?
Haiii...
Kau kini begitu berbeda, berbeda. Ya. Kau membuatku bingung dengan perasaanku saat ini
Hatiku selalu berdebar disaat kau hanya melintas beberapa saat di hadapanku
Kau kah yang rabunkan mataku dengan silaunya keramahanmu?
Kau bagaikan bunga di antara seribu satu duri yang tajam, kau yang mengikatku dengan perasaan ini, kau.
Tak habis pikir ku rasakan mengapa dengan hati ku ini,
Begitu terangkah sinar kedamaian di wajahmu itu, hingga kini mampu terangi sisi dunia gelap masa lalumu?
Ataukah aku yang selalu menganggapmu seperti orang-orangan sawah yang tak pernah aku anggap keberadaanmu?
Maafkanlah, cukuplah ku tahu sekarang, kau lah pengikat hati dan jiwaku, kaulah itu, ya.
Tak cukup kata untuk mengungkapkan perasaanku ini,
Ku tahu kau mengerti bagaimana inginku
Diamlah,
Janganlah kau pergi disaat ku mulai mendekat
Tak akan pernah ku menyakitimu, tak akan pernah.
Percayalah
Aku kan menjagamu untuk semua hal yang akan terjadi
Akan ku jaga perasaan ini, hanya untukmu
Pasti,, :-)