Skenario-Mu
“Assalamu’alaikum
bang, nanti Lily pulang malem, dijemput ya?” kataku kepada kakak yang sering
aku panggil “abang” itu.
“Wa’alaikumsalam, pulang jam berapa
dik?” jawab Rehan “si abang” via telepon.
“Sekitar ba’da Isya aku selesai.
Jemput jam tujuh ya?”
“Acara apa dik?” Tanyanya
memastikan.
“Ada tugas tambahan, besok ada acara
kegiatan Bakti Sosial, aku ikut di kepanitiaannya bang”
“Hm.. Oke deh, Insya Allah abang
jemput. Jam tujuh ya?”
“Okey abang sayang, Lily pamit dulu,
Assalamu’alaikum,tut... tut... tut...”
. Segera ku tutup telpon tanpa menuggu balasan salam dari abang ku. Inilah
kebiasaanku, menutup telpon sebelum mendengar balasan salam dari seberang sana.
Astoghfirullohhal’adzim... maafkan aku duhai Engkau Sang Maha Pengampun.
Malam ini selesai, persiapan acara
untuk besok sudah lengkap dan fix. Kini aku, Yani, dan beberapa temanku bersiap
pulang. Aku dan Yani keluar ruang persiapan setelah beberapa orang keluar
mendahului. Diluar, Om Darma terlihat sudah menunggu di tempat parkir dengan
vespa kesayangannya. Aku mencari sosok bang Rehan di sekitar tempat parkir,
tidak, belum ada. “Dimana dia?”
Tanyaku dalam hati. Yani yang melihatku gelisah mencari bang Rehan, kini ikut
mencari.
“Bang Rehan belum datang Ly?” tanya
Yani akhirnya.
“Belum ini, aku sudah bilang
dijemput jam tujuh, seharusnya sudah disini dari tadi”
“Coba kamu hubungi dulu Ly, kali aja
dia lupa”
“Masa si dia lupa?” jawabku sembari
mengeluarkan Handphone berniat menelfon kakakku.
“tut...tut...
tut...” berulang kali ku telfon abangku tapi tidak di angkat. Ini membuatku
cemas.
“Tenang dulu Ly, mungkin lagi
dijalan” ujar Yani menenangkan.
“Kayaknya iya deh...” jawabku dengan
membuat fikiran yang positif.
“Aku tungguin kamu sampai bang Rehan
kesini ya?” ujar Yani menawarkan diri.
“Mm... nggak usah Yan, paling bentar
lagi juga sampai. Kasihan Om Darma, udah nunggu lama tuh, pulang dulu aja, aku
nggak papa kok, lagian disini masih ada beberapa orang”
“Beneran ni nggak papa?” tanya Yani
meyakinkan.
“Beneran... Serius aku nggak papa”
jawabku dengan senyum lebar.
“Okay deh kalau gitu aku pulang
dulu. Hati-hati Cantik! Kalau ada apa-apa hubungi aku yaa...” pamit Yani
diakhiri dengan mencium pipi kanan dan kiriku.
“Sipp... Hati-hati di jalan”
“Kamu yang hati-hati, masuk dulu
sana, suruh abang kamu hubungin kalau sudah sampai”
“Iya nenek cerewet, sudah sana
pulang”
“Hehe... Iya deh, duluan ya?
Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam Warohmatulloh...”
jawabku sembari melambaikan tangan dan berjalan kembali melewati jalan yang
telah ku lalui beberapa menit yang lalu. Ku hentikan langkahku di depan ruang
persiapan yang terlihat masih berisi tiga orang, kak Agung ketua kegiatan ini, kak
Reni dan kak Yuni dua sekertaris kegiatan yang selalu bersama, mereka terlihat
masih sibuk dalam ruang persiapan. Ku urungkan niatku untuk masuk lagi ke
dalam, aku memilih untuk duduk di kursi yang tersedia di depan ruang. Kulirik jam menunjukkan pukul 20:05. Ku coba menenangkan diri dengan membuka
Al-Qur’an kecil yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. Melantunkan ayat-ayat
suci-Nya dengan lirih. Dua surat selesai ku baca, sedikit lebih tenang hati
ini. kembali kulirik jam yang menempel di pergelangan tangan kiriku, pukul
20:25, duapuluh menit berlalu, bang Rehan belum juga menampakkan batang
hidungnya, seharusnya 15 menit sudah cukup untuk perjalanan dari rumah menuju
kampus tempat dimana kini aku berada.
Ku masukkan Al-Qur’anku ke dalam
tas, dan kucoba menelpon bang Raihan lagi, tetap tidak ada jawaban, bahkan kali
ini handphonnya tidak aktiff!
“Astoghfirullohhal’adzim...
ada apa dengan dia?” tanya hatiku yang kembali bergetar
cemas. Ayah dan Ibuku tidak dirumah, tidak mungkin aku meminta tolong mereka.
Tiba-tiba aku teringat Yani, ku ambil handphoneku dan mencari namanya di dalam
kontak handphone, beberapa saat sebelum aku menekan tombol “Call” aku teringat
akan satu hal, rumah Yani jauh dari kampus, setengah jam untuk perjalanan.
Mungkin dia baru sampai di rumah saat ini. Tidak mungkin aku meminta tolong
padanya untuk menjemputku kini. Ku putuskan untuk menunggu abangku 5menit lagi
dengan berjalan ke luar kampus. Sekilas ku lirik lewat jendela yang terjejer di
dinding ruangan, tiga orang yang terlihat masih sibuk di dalam ruang persiapan.
Kak Angga melihatku, mungkin dia heran melihatku masih berada disini. Masa
bodoh.
Kulangkahkan
kakiku perlahan mengimbangi jam yang berputar lambat, hingga kini aku berada di
teras depan kampus. Sepi. Tidak ku lihat abangku berada di sini. Bosan aku
melihat jam, dengan langkah cepat kini kakiku melangkah menyusuri jalanan
menuju tempat pemberhentian bus. Dalam langkahku tidak pernah terhenti bibirku mengucap
nama-Nya. Tujuh menit berlalu, baru setengah perjalanan menuju jalan raya
dimana biasanya ada bus lewat disana. “Bismillah,
semoga masih ada bus lewat malam ini, berikan murahMu wahai Engkau yang maha
mengasihi setiap umat, berikan sinarMu di malam yang gelap ini wahai Engkau yang
maha Menerangi setiap langkah umatMu, berikanlah keselamatan duhai Engkau yang
Maha Melindungi orang-orang yang Engkau kasihi, aamiin” bisikku dalam hati
di sela perjalanaku.
Sudah
terlihat olehku tempat yang ku tuju di ujung sana, sekitar 200 meter lagi,
beberapa kendaraan masih berlalu lalang melintas dalam penglihatan mataku,
sesekali bus. Alhamdulillah, semoga masih ada bus lain yang lewat. Ku percepat
langkahku menuju ujung jalan ini, setengah berlari mengejar waktu yang terus
berputar lambat. Tidak ku hiraukan perasaanku yang tidak jelas, memikirkan bang
Rehan yang tidak juga datang menjemputku. Tidak ku hiraukan orang-orang yang
terus memperhatikanku dalam kegelapan, terus ku langkahkan kakiku dengan cepat
dan semakin cepat menuju ujung jalan dengan tetap menyebut nama-Nya, sesekali
melantunkan ayat-ayat suciNya. “Hampir
sampai, ayo semangat Lily, semangat...” bisikku lirih.
Ditengah
perjalanan, langkahku terhenti mendadak, disaat menyadarinya, aku merasa terlambat!
Sesosok manusia bertubuh besar melangkah perlahan menuju arahku. “Ya Allah, harus bagaimana aku?” di
tengah panik yang kurasakan, ku dengar dia memanggil manggil diriku dengan
manja, terdengar sangat mengerikan di telingaku. Berdetak keras hatiku, seakan
aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Tubuhku lemas, sedikit bergetar. Dengan
kekuatan dan ketakutanku kini, aku berbalik dan berlari secepat yang aku bisa. Kudengar
tawa keras yang keluar dari mulutnya. Sungguh menjijikkan. Setelah beberapa
saat aku berlari, ku sempatkan untuk melihat ke belakang, kulihat dia tidak
mengejarku, namun masih berjalan menuju kearahku. Aku berniat untuk kembali ke
kampus dan menjauh sejauh jauhnya darinya. Semoga dia tidak mengejarku lagi.
Ku
percepat lariku, dan sesekali ku lihat keadaan di belakangku, laki-laki bejat
itu mulai berlari mengejarku, dengan tetap memanggil manggil ku. Ku percepat
langkahku semakin cepat dan cepat, hingga akhirnya langkahku terhenti untuk
kedua kalinya malam ini. Satu sosok tubuh besar lagi yang mengerikan dengan
penuh tato di kulit hitamnya, kini melangkah perlahan ke arahku. Ku lihat
kebelakang, sosok dibelakangku itu berhenti berlari, kini berjalan cepat
menujuku.
“Astoghfirullohhal’adzim...
Ya Allah, lindungilah hambaMu yang kerdil ini, selamatkanlah aku dari gangguan
yang tidak ku inginkan ini ya Allah, berikanlah aku seseorang yang bisa
menyelamatkan ku malam ini... bang Rehan... dimana kamu? Cepat datang dan
tolonglah adikmu ini...” jeritku dalam hati dengan
meneteskan air mata ketakutan. Aku menyesali keputusanku untuk pulang tanpa
menunggu bang Rehan.
Mereka
kini semakin mendekat ke arahku, kulihat keadaan sekeliling, sepi. Kanan kiri
jalan berderet pertokoan yang telah tutup dan tidak berpenghuni, kuurungkan
niatku untuk berteriak meminta tolong, tiba-tiba teringat olehku handphone yang
berada di tasku, ku buka tas dan mencari dengan gugup handphone yang terselip
di antara kertas-kertas dan buku yang ada di tasku. “Dimana?” Disaat aku mencarinya, kudengar suara klakson berbunyi
keras menghentikan langkah sosok-sosok mengerikan yang mencoba mendekatiku.
“Naik!”
perintahnya kepadaku. Tanpa berpikir panjang aku meloncat naik ke atas sepeda
motor yang melaju kencang setelah aku menaikinya, meninggalkan laki-laki yang
sangat mengerikan bagi ku.Tanpa kusadari aku memeluknya dari belakang dengan
menangis sesenggukan di punggungnya. Sampai akhirnya aku mendengar suaranya.
“Rumahnya
di mana?”
“Astoghfirullohhal’adzim...”
tersadar dari rasa takut, panik, dan sedih, kulepaskan pegangan tanganku yang
memeluk erat pinggangnya. Berulangkali ku sebut asma Allah, menyadari apa yang
telah ku lakukan dengan ketidaksadaran ini. Setelah sedikit merasa tenang kini
aku mengamatinya dari belakang, Subhanallah... ini jaket yang tadi di pakai kak
Angga. Merasa tenang sudah mengetahui orang yang telah menolongku, kini dengan
lirih aku menjawab pertanyaannya yang telah lama berlalu.
“Di
kompleks sebelah taman kota, blok n kak”
“Sudah
enakan?” kak Angga menanyakan keadaanku.
“Alhamdulillah
kak, makasih banyak” Jawabku singkat. Kak Angga tidak menimpali perkataanku.
Dalam
perjalanan kami berdua terdiam dan masuk dalam pikiran masing-masing. Baru
pernah aku membonceng cowok selain bang Rehan dan Ayah, “Astoghfirullohhal’adzim... maafkan hambaMu ya Rabb, singkirkanlah
syaitan-syaitan yang kini berada di antara kami” bisikku kembali
mengeluarkan air mata hingga terdengar bunyi sesenggukan yang beberapa saat
tadi telah terhenti.
Akhirnya
laju sepeda berhenti tepat di depan rumahku, segera aku turun dan mengucapkan
terimakasih padanya.
“Makasih
banyak kak” kataku lirih menundukkan pandangan ku.
“Lain
kali hati-hati, kalau bisa jangan pulang sendirian” nasehatnya.
“InsyaAllah
kak, makasih buat nasehat dan pertolongannya, maaf sudah malam, saya harus
masuk sekarang, Assalamu’alaikum...” pamitku dengan segera berjalan menuju
rumah. Bukan balasan salam yang ku dengar, namun terdengar olehku ia memanggil
namaku.
“Dik
Lily...?
Langkahku
terhenti, diam mendengarkan apa yang akan ia katakan padaku, tanpa membalikkan
badanku yang terasa sangat lemas setelah turun dari sepeda beberapa menit yang
lalu.
“Saya
menemukan ini di atas kursi depan ruang persiapan, sepertinya ini punya adik?”
akupun berbalik dan melihat apa yang kini ia pegang.
“Subhanallah...
handphone saya kak” aku mendekat dan mencoba untuk mengulurkan tangan dengan
tetap menundukkan kepalaku, kurasakan tanganku bergetar hebat, kakiku lemas
seolah tak mampu menahan berat tubuhku, mukaku memanas, kepalaku pusing,
kuurungkan niatku untuk mengambil handphoneku, aku berbalik dan melangkah cepat
sedikit tertatih menuju pintu rumah, berharap bang Rehan di rumah dan segera
membukakan pintu untukku sebelum tubuhku terjatuh menahan rasa berat yang kini
semakin bertambah. Tak ku pikirkan kak Angga di belakangku, tujuanku cuma satu,
rumah.
Entah
apa yang terjadi, ku rasakan seseorang berlari ke arahku, ingin aku melihat
siapa itu, tapi aku tidak mampu melihat lagi.
***
Tidak
bisa ku ucapkan bagaimana perasaanku saat ini, tidak mampu ku ungkapkan lewat
bahasaku, namun rasa ini sungguh jelas terasa dalam kesempurnaan yang Engkau
berikan, inilah perasaan hatiku.
Disaat
kupandangi seluruh tubuhku di depan cermin, Subhanallah... Inikah ciptaan-Mu
yang begitu sempurna?? Makhluk yang kulihat kini, kesempurnaan yang terlihat,
dengan balutan jilbab yang lembut, hingga nyaris menutupi jari-jari mungil ini.
termenung aku, mengingat akan Maha Besar-Mu.
Perlahan
hujan itu mulai turun, tetesan hujan dari pelupuk mata hasil cipta yang begitu
sederhana, namun rumit penuh kesempurnaan, kini semakin deras ia menetes,
mengalir dan memberikan kesejukan. Inilah tetesan air mata cinta yang mengalir
tulus dari hati manusia kerdil.
Kuusap
pipiku yang bermandikan air mata cinta, kusebut nama-Nya berulang-ulang, menata
hatiku agar lebih tenang. Ku hembuskan nafas yang murah ini perlahan. dengan
hembusan ini, kurasakan setiap nikmat yang telah Dia berikan. Subhanallah...betapa
Ia Sang Maha Pemilik Kesempurnaan.
Hujan
itu kembali menetes deras, tidak mampu aku bendung lagi. Lantunan-lantunan suci
menambah deras setiap tetesan yang mengalir.
...
Hari
ini sangat cerah, matahari bersinar terang, menggantung tepat diatas kepalaku,
menemaniku berjalan menyusuri deretan-deretan rumah di pinggir jalan. Hari ini
aku akan mengunjungi rumah Yani, kebetulan sepeda dirumah mogok, sementara bang
Raihan sibuk dan tidak bisa mengantarkanku pergi. Setelah sampai di pinggir
jalan raya, kulihat bus menuju kearahku, bus itupun terhenti setelah aku
menyetopnya, kulangkahkan kakiku menginjak alas bus yang kini berada di
hadapanku. Sambil tersenyum, kini aku merasa lega dan berucap syukur sembari
duduk nyaman bersandar pada kursi bus, sungguh nikmat. Ku pandangi jalanan di luar
sambil menikmati goncangan demi goncangan yang kurasakan pada bus ini. kembali
aku tersenyum, memikirkan apa yang akan ku katakan pada Yani nanti. J
Empat
tahun berlalu, kini aku pulang ke kampung halamanku setelah aku menyelesaikan
studi S2 ku di Kairo Mesir, sebenarnya tiap akhir tahun aku pulang mengunjungi
keluargaku di rumah, namun kepulangan ku kali ini berbeda dari tahun-tahun
sebelumnya.
Setelah
aku mampu melewati masa-masa sulit dan senangku di negeri yang selalu aku
impikan sejak dahulu, hingga kini aku bergelar master dengan lulusan tercepat
di Universitas Kairo Mesir. Dua hari setelah kelulusanku, ayah menelfon
menyuruhku pulang, dengan alasan ada yang akan meminangku. MasyaAllah, siapakah
gerangan? Ketikaku tanyakan pada ayah, beliau hanya mengatakan kalau ikhwan
yang akan meminangku adalah sosok yang sempurna menurut ayah, ibu, kak Rihan
juga mbak Rina istrinya.
“Bismillah...
siapapun itu, semoga yang terbaik untukku. Aamiin ya Robb..” do’a ku dalam hati
kala itu.
Ketika
sampai pada hari ta’arufanku dengannya, Subhanallah... Dialah yang menolongku
di malam mengerikan yang baru pernah aku rasakan seumur hidupku. Empat tahun
yang lalu, setelah hari kelulusannya dia menghilang, dialah orang yang pernah
membuat hatiku bergetar diisaat aku melihatnya, walau dalam jarak yang jauh.
Dia jugalah yang membuatku menangis semalaman memikirkan apa yang harus
kulakukan untuk melupakannya, melupakan dirinya yang telah membuatku gila
dengan cinta yang melebihi cintaku terhadapNya. Sekarang setelah empat tahun
berlalu Engkau takdirkan dia kembali pada ku, dengan jalinan yang lebih
sempurna dalam sebuah ikatan yang bernama “pernikahan”
Bis
berhenti mendadak, aku tersadar dari lamunanku dan menyadari ternyata bis ini
telah mengantarkanku tepat di depan rumah Yani yang ada di pinggir jalan raya.
Akupun turun dan kembali tersenyum lebar mengingat apa yang akan aku katakan
pada Yani untuk memberitahu padanya tentang pernikahanku yang tak lama lagi. J